TIMES PACITAN, JEPARA – Ketua Pimpinan Pusat Persatuan Guru NU (PP PERGUNU), Dr. KH. Nasrulloh Afandi, Lc., MA., kembali melontarkan pernyataan berani dan visioner. Dalam acara Ta’aruf Mahasantri Baru di Ma’had Aly Balekambang Jepara Jateng, Gus Nasrul—sapaan akrabnya—menegaskan bahwa sebagian isi Kitab Taqrib karya Imam Abi Syuja’ sudah tidak relevan di era digital seperti sekarang.
“Kitab ini sangat berkualitas dan berjasa besar dalam pendidikan fikih pesantren. Tapi ada banyak bagian yang harus direvisi, bahkan dipindahkan ke buku sejarah,” tegas Gus Nasrul di hadapan para mahasantri, Sabtu (2/8/2025).
Menurut Gus Nasrul, hukum Islam selalu adaptif terhadap perubahan zaman. Karena itu, kitab-kitab klasik tidak bisa dibiarkan statis tanpa penyesuaian terhadap konteks sosial dan teknologi hari ini.
Ia mencontohkan bab tentang luqothoh (barang temuan). Dalam Kitab Taqrib, seseorang yang menemukan barang wajib mengumumkannya di pintu-pintu masjid selama setahun. “Itu masuk akal di masa lalu, karena masjid adalah pusat keramaian. Tapi hari ini, kita punya internet, medsos, dan teknologi penyebaran informasi yang jauh lebih cepat,” ujar alumnus Pesantren Lirboyo Kediri dan Sarang rembang ini.
Kalau saat itu sudah ada medsos, kata Gus Nasrul, mungkin redaksi kitabnya akan berubah jadi: “Wajib diumumkan melalui beragam media sosial.” Dengan begitu, informasi barang temuan bisa sampai ke pemiliknya dalam hitungan jam, bukan tahun.
Contoh lain yang ia angkat adalah aturan soal makanan temuan. Dalam kitab disebutkan bahwa jika makanan ditemukan, boleh dimakan atau dijual, dengan catatan bertanggung jawab jika pemiliknya datang. Tapi itu pun, menurut Gus Nasrul, secara ushul fikih, hukum tersebut lahir dari keterbatasan teknologi kala itu.
“Kalau saat kitab tersebut disusun, itu sudah ada kulkas atau freezer, tentu makanan itu tidak langsung diperbolehkan dimakan. Bisa disimpan di kulkas sambil diumumkan. Apalagi sekarang, makanan kemasan sudah ada tanggal kedaluwarsa. Ini 'ilat atau faktor hukum yang masuk dalam penyesuaian hukum fiqih,” paparnya.
Hal paling gamblang, kata Gus Nasrul, ada pada bab tentang budak. Sebagai karya, klasik, kitab Taqrib jelas masih memuat hukum-hukum pembebasan hamba sahaya. Padahal, dalam kehidupan modern, perbudakan sudah tidak ada. “Bagian budak ini, lebih cocok dipindah masuk ke buku-buku sejarah Islam, bukan fiqih,” tegas Wakil Ketua Komisi Kerukunan Umat Beragama MUI Pusat tersebut.
Menurutnya, revisi ini bukan bentuk pengingkaran terhadap ulama klasik, tetapi bagian dari ijtihad kontekstual demi menjaga aktualitas ajaran Islam. “Aktualisasi ini penting untuk membuka ruang pengembangan intelektual generasi Muslim, agar mereka tidak hanya hafal, tapi paham konteks dan bisa menerapkan hukum secara tepat,” jelas Doktor Maqasid Syariah jebolan Universitas Al-Qurawiyin, Maroko itu.
Gus Nasrul menambahkan, hingga hari ini dirinya masih mengajarkan Kitab Taqrib kepada santri di Pesantren Balekambang Jepara. Namun ia juga menyisipkan pendekatan baru dan kontekstual agar isi kitab tak jadi doktrin beku, melainkan panduan hidup yang fleksibel dan dinamis.
Selain soal fiqih klasik, Gus Nasrul juga sempat menyinggung perlunya kajian hadits yang lebih aktual, sebagaimana pernah ia gagas sebelumnya lewat Fikih Lalu Lintas dan Fikih Medsos yang ia paparkan di Masjid Istiqlal pada Mei lalu.
“Ini bukan soal mengubah hukum agama. Ini soal bagaimana Islam tetap relevan, logis, dan bisa menjawab kebutuhan zaman,”
Jika wawasan semacam itu bisa, diterapkan. Dengan demikian, para mahasantri Mahad Aly, mampu mengaktualisasikan khazah kitab kuning di tengah kehidupan modern, pungkas Gus Nasrul yang juga aktif berceramah di berbagai pelosok negeri itu. (*)
Pewarta | : Yusuf Arifai |
Editor | : Faizal R Arief |