https://pacitan.times.co.id/
Forum Dosen

Politik Penggunaan Bendera Bajak Laut dalam Perspektif Fikih Siyasah

Sabtu, 02 Agustus 2025 - 09:30
Politik Penggunaan Bendera Bajak Laut dalam Perspektif Fikih Siyasah Yusuf Arifai, M.H., Dosen Ma'had Aly Al-Tarmasi Pacitan.

TIMES PACITAN, PACITAN – Fenomena maraknya pemasangan bendera bajak laut ala anime One Piece menjelang peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-79 menimbulkan polemik di tengah masyarakat. 

Secara lahiriah, hal ini mungkin terlihat sebagai ekspresi kebebasan berekspresi dari kalangan muda, tetapi dari perspektif fikih siyasah, fenomena ini dapat dikaji lebih mendalam sebagai potensi ancaman simbolik terhadap kedaulatan dan stabilitas negara. 

Saya mencoba menganalisis fenomena tersebut menggunakan pendekatan fikih siyasah klasik dan kontemporer, dengan merujuk pada Al-Qur'an, Hadis, ijmak, qiyas, serta karya-karya ulama Ahlussunnah wal Jamaah dan hasil Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama. 

Tujuanannya adalah memberikan pemahaman yang komprehensif kepada publik tentang pentingnya menjaga simbol-simbol negara dan memperkuat ikatan kebangsaan dalam bingkai persatuan dan kesatuan NKRI.

Menjelang 17 Agustus, masyarakat Indonesia pada umumnya mulai menghiasi lingkungannya dengan atribut kemerdekaan seperti bendera Merah Putih, umbul-umbul, dan poster bertema nasionalisme. 

Namun, tahun ini muncul tren baru yang cukup mencolok, yaitu pemasangan bendera bajak laut "Jolly Roger" dari serial anime Jepang "One Piece" di berbagai tempat, mulai dari rumah hingga kendaraan. 

Walau sebagian menganggap ini sebagai bentuk hiburan, ekspresi budaya pop, atau kreativitas anak muda, fenomena ini memerlukan telaah yang lebih dalam dari aspek fikih siyasah.

Metodologi dan Landasan Teori

Kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif berbasis teks-teks primer klasik dan hasil-hasil forum keilmuan fikih kontemporer seperti Bahtsul Masail. Fikih siyasah digunakan sebagai pisau analisis untuk melihat hubungan antara simbol, kekuasaan, dan stabilitas negara. 

Dalam hal ini, referensi utama meliputi: Al-Qur’an, Hadis, Ijmak, Qiyas, serta literatur klasik seperti al-Ahkam al-Sulthaniyyah karya al-Mawardi, dan keputusan Bahtsul Masail NU tentang etika bernegara.

Analisis Simbol dalam Perspektif Syariat

Simbol memiliki makna representatif terhadap nilai, identitas, dan loyalitas. Dalam konteks ini, simbol negara seperti bendera Merah Putih bukan sekadar kain berwarna, melainkan lambang pengorbanan, perjuangan, dan persatuan. Allah berfirman:

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا

“Berpegang teguhlah kalian semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah bercerai-berai,” (QS. Ali Imran: 103).

Ayat ini menunjukkan urgensi kolektivitas dan larangan terhadap segala bentuk perpecahan, termasuk yang disimbolkan melalui penggantian simbol resmi negara dengan simbol-simbol lain yang tidak sejalan dengan nilai kebangsaan.

Bahaya Pengaburan Identitas Nasional

Simbol bajak laut yang dikenal sebagai simbol anarki laut, pembajakan, dan pelanggaran hukum internasional ketika digunakan secara masif dalam konteks nasional, berpotensi memicu pengaburan nilai nasionalisme. Dalam al-Ahkam al-Sulthaniyyah, al-Mawardi menjelaskan:

الإمامة موضوعة لخلافة النبوة في حراسة الدين وسياسة الدنيا

“Imamah (kepemimpinan) bertujuan untuk melanjutkan misi kenabian dalam menjaga agama dan mengelola urusan dunia,” (Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, Dar al-Fikr, 1985, hlm. 5).

Dalam kerangka ini, menjaga simbol negara adalah bagian dari menjaga struktur sosial-politik yang menjadi tanggung jawab pemimpin. Simbol bajak laut sebagai alternatif visual pada perayaan kemerdekaan berpotensi mencederai nilai persatuan dan memberi ruang bagi pemaknaan liar terhadap nasionalisme.

Qiyas dan Ijmak: Penguatan Nilai Kolektif

Secara qiyas, penggunaan simbol yang secara substansi bertentangan dengan nilai keadaban dan kepatuhan terhadap sistem, bisa dianalogikan dengan penggunaan simbol pemberontakan. 

Dalam fikih siyasah, menjaga kestabilan dan martabat negara adalah maslahah 'ammah yang wajib dikedepankan. Para ulama berijmak bahwa menghindari fitnah dan chaos merupakan bagian dari maqashid al-syari’ah (tujuan syariat).

Fatwa Bahtsul Masail NU

Dalam Bahtsul Masail PBNU tentang simbol kenegaraan (Muktamar ke-32, Makassar), disepakati bahwa mengganti atau menyaingi simbol resmi negara dalam momentum kenegaraan dapat merusak makna kemerdekaan dan melahirkan tasyabbuh (penyerupaan) yang tidak dibenarkan secara syariat.

NU menegaskan pentingnya menghormati simbol-simbol negara sebagai bentuk kepatuhan kepada waliyul amri dan menjaga persatuan.

“Mengganti simbol kenegaraan dalam konteks resmi dengan simbol budaya asing atau fiktif, meskipun tanpa niat penghinaan, tetap berpotensi menimbulkan tafsir negatif dan polemik di masyarakat. Oleh karena itu, sebaiknya dihindari.” (Bahtsul Masail PBNU, Muktamar Makassar, 2010)

Saran dan Masukan

Pemerintah dan lembaga pendidikan perlu memperkuat literasi kebangsaan dan syariat tentang pentingnya menghormati simbol negara.

Masyarakat, terutama generasi muda, didorong mengekspresikan kreativitas secara kontekstual dan sesuai etika kebangsaan.

Ulama dan tokoh masyarakat perlu aktif memberikan penjelasan kepada publik bahwa menjaga simbol negara adalah bagian dari hubbul wathan minal iman.

Mari bersama kita menjaga persatuan bangsa dengan menjadikan peringatan Hari Kemerdekaan sebagai ajang memperkuat semangat kebangsaan. Sebagaimana dikatakan Sayyid Bakri Syatha dalam I’anatuth Thalibin,

من مقاصد الشريعة حفظ النظام ورفع الخصام

“Salah satu tujuan syariat adalah menjaga keteraturan dan menghilangkan pertentangan,” (Syatha ad-Dimyathi, I’anatuth Thalibin, Dar al-Fikr, Beirut, 2005, juz 4, hlm. 201).

Menjaga simbol negara adalah menjaga keteraturan. Menghormati bendera Merah Putih adalah bentuk rasa syukur atas kemerdekaan yang diberikan Allah.

Fenomena bendera bajak laut dalam konteks perayaan kemerdekaan tidak bisa dipandang semata sebagai hiburan. Dalam fikih siyasah, setiap tindakan yang berpotensi menimbulkan fitnah, memecah belah, atau mengaburkan identitas negara harus dicegah. 

Dengan pendekatan yang bijak, edukatif, dan kolaboratif, semua pihak dapat saling mengingatkan dan memperkuat semangat nasionalisme.(*) 

***

*) Oleh : Yusuf Arifai, M.H., Dosen Ma'had Aly Al-Tarmasi Pacitan.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Pacitan just now

Welcome to TIMES Pacitan

TIMES Pacitan is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.