TIMES PACITAN, PACITAN – Perbaikan infrastruktur pasar tradisional di Pacitan terus digenjot dengan harapan mampu mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD). Namun fakta di lapangan justru menampilkan ironi. Sejumlah pasar direhab menggunakan dana APBD miliaran rupiah, tetapi pemasukan daerah dari sektor ini masih terseok, bahkan terancam tak tercapai lantaran penunggakan sewa kios yang menahun.
Plt Kepala Bidang Pasar Disdagnaker Pacitan, Agus Ismanto, tak menampik kondisi tersebut. Ia menyebut hingga Rabu (9/7/2025), progres rehabilitasi lima pasar sudah masuk tahap P1, sementara dua pasar lainnya menunggu finalisasi.
"Yang sudah Arjowinangun, Tulakan, Gondosari, Donorojo, dan Ngadirejan, sisanya besok. Kalau nilainya tidak berubah. Tapi kan ada penawaran, kalaupun berubah hanya sedikit," ujar Agus soal besaran anggaran rehab.
Dana rehab yang dikucurkan memang tak kecil. Pasar Arjawinangun mendapat Rp195 juta, Gondosari Rp110 juta, Ngadirejan Rp95 juta, Tulakan Rp87 juta, Nawangan Rp72 juta, dan Donorojo Rp47 juta. Totalnya tembus hampir Rp600 juta hanya untuk memperbaiki atap bocor, talang rusak, kios lapuk, drainase mampet, hingga fasilitas sampah yang tak layak.
"Rehab talang, atap, tiang, apalagi saat musim hujan banyak yang bocor," jelas Agus.
Sayangnya, geliat perbaikan fisik pasar ini belum berbanding lurus dengan kinerja PAD. Target PAD sektor pasar tahun ini dipatok Rp3,204 miliar, namun hingga Mei baru tercapai sekitar 20 persen. Tahun lalu pun target tak sepenuhnya terpenuhi, hanya mencapai 96 persen dari target Rp3,201 miliar.
"Hingga semester pertama 2025 ini baru terealisasi 32,38 persen. Biasanya pedagang mulai pelunasan sewa antara September hingga November," terang Agus.
Ia pun mengakui tren kunjungan ke pasar tradisional di Pacitan terus merosot dalam tiga tahun terakhir. Banyak warga lebih memilih belanja di pedagang keliling yang datang langsung ke permukiman, atau beralih ke platform daring.
"Saat ini pengunjung pasar berkurang. Banyak pedagang yang jualan keliling pakai kendaraan, jadi masyarakat malas ke pasar," beber Agus.
Lahan Parkir Mepet, Pedagang Justru Menjamur di Trotoar
Masalah lain yang tak kalah pelik adalah ketiadaan lahan parkir. Pasar Tulakan dan Ngadirojo misalnya, pengunjung terpaksa memarkir kendaraan di badan jalan.
"Itu retribusi parkirnya diambil Dishub. Sementara belum ada solusi, lahannya memang sudah mepet semua," kata Agus.
Kondisi berbeda dialami Pasar Tegalombo yang ternyata masih dikelola pemerintah desa, belum diambil alih pemkab. Sementara Pasar Arjosari, yang sempat terbakar hebat, sudah selesai direhab pada Desember 2024.
Namun yang paling mencolok justru terjadi di jantung kota Pacitan. Los kuliner Pasar Minulyo yang dibangun untuk menata pedagang makanan kini terbengkalai. Pedagang memilih berjualan di trotoar sepanjang Jalan Ahmad Yani.
Disdagnaker sebenarnya sudah berkoordinasi dengan Satpol PP untuk penertiban, tetapi hasilnya belum menggembirakan.
"Harapannya pedagang bisa kembali mengisi los kuliner di Pasar Minulyo. Tapi mau bagaimana lagi, wong mereka pilih dagang di pinggir jalan. Alasannya bisa langsung ketemu pelanggan, tak perlu masuk," ucap Agus.
Tunggakan Sewa Lapak Mencapai Rp119 Juta
Di tengah upaya mempercantik pasar, masalah tunggakan sewa lapak justru semakin menohok. Data Disdagnaker Pacitan menunjukkan khusus di Pasar Minulyo, tunggakan sewa hingga Rabu (9/7/2025) masih Rp119,5 juta. Dari total tunggakan Rp204 juta, baru Rp84,5 juta atau 42 persen yang berhasil ditagih.
"Realisasi hingga Juni sebesar Rp84.500.000, baru 42 persen," ungkap Kepala Disdagnaker Pacitan, Acep Suherman, secara terpisah.
Padahal, target semula seluruh tunggakan ini lunas pada Maret 2025. Namun permintaan pedagang untuk menunda pembayaran hingga setelah Lebaran akhirnya membuat target itu meleset jauh. Acep mengakui, kondisi ekonomi pedagang memang belum pulih betul.
Akibat penunggakan ini, Disdagnaker pun belum bisa menerbitkan Surat Ketetapan Retribusi Daerah (SKRD) 2025 bagi pedagang yang masih menunggak. Hanya mereka yang sudah melunasi sewa tahun sebelumnya yang diberikan SKRD.
"Yang belum lunas kita pending dulu SKRD-nya," tegas Acep.
Ironisnya, tunggakan ini hanya terjadi di Pasar Minulyo. Pasar lain seperti Punung, Kebonagung, Arjosari dan Arjawinangun justru dinilai tertib membayar.
"Kami sudah lakukan berbagai upaya penagihan, kirim surat peringatan, turun langsung ke lapangan," tutur Acep.
Bahkan Disdagnaker memberi opsi agar pedagang yang tak sanggup bayar bisa mengundurkan diri sehingga kiosnya bisa dialihkan ke pihak lain.
"Kami tidak masalah jika ditinggalkan karena tidak kuat sewa. Selanjutnya biar kami tawarkan ke yang lain," katanya.
Tarif Tak Naik, Tapi Daya Beli Lesu
Tarif sewa kios pasar sebenarnya tidak mengalami kenaikan. Berdasarkan Perda Nomor 9 Tahun 2023, sewa kios berkisar antara Rp700 ribu hingga Rp2 juta per tahun, tergantung kelas lapak.
Namun rendahnya daya beli masyarakat dan gempuran pasar online ditambah maraknya pasar kaget membuat pedagang kesulitan memutar modal.
"Uangnya sama pedagang mungkin dipakai buat modal dulu. Kami kurang paham apa alasannya persis, kemungkinan begitu," kata Agus Ismanto.
Sementara itu Disdagnaker hanya bisa berharap agar pedagang segera melunasi kewajiban mereka. Agus menyebut mayoritas pedagang baru menutup pembayaran pada triwulan terakhir setiap tahun.
"Biasanya pelunasan ramai di September, Oktober, November. Kalau sekarang belum bisa dihitung totalnya," tambah Agus.
Ironi Rehab vs Pemasukan
Yang membuat miris, pemerintah daerah Pacitan sudah menggelontorkan hampir Rp600 juta hanya untuk rehab enam pasar. Namun PAD dari pasar justru stagnan, serapan masih rendah, sementara pedagang lebih suka berjualan di trotoar atau keliling kampung.
Kondisi ini seakan menjadi potret klasik persoalan pasar tradisional di banyak daerah. Infrastruktur diperbaiki, tetapi tidak dibarengi tata kelola yang berani dan strategi inovasi agar pasar tetap diminati.
"Kalau pasarnya bagus, pedagangnya rapi, retribusinya lancar, PAD pasti ikut naik," kata salah satu warga Pacitan, Wantoro (46), yang ditemui di Pasar Minulyo.
"Tapi sekarang ya begini, pembeli saja ogah masuk, lebih suka belanja pinggir jalan," imbuhnya.
Sementara Disdagnaker Pacitan kini harus bekerja ekstra keras untuk memastikan target PAD Rp3,204 miliar tahun ini tak kembali meleset. Penagihan sewa lapak pun harus lebih tegas agar uang daerah yang diharapkan dari pasar tradisional benar-benar bisa masuk ke kas. (*)
Pewarta | : Yusuf Arifai |
Editor | : Hendarmono Al Sidarto |