TIMES PACITAN, PACITAN – Belakangan ini, kita disuguhkan tontonan panggung politik daerah. Di berbagai wilayah di Indonesia, para calon pemimpin tengah berusaha menarik perhatian rakyat dengan pidato-pidatonya, kadang terdengar cerdas, kadang terdengar janggal hingga mengundang tawa.
Berbicara di hadapan banyak orang, apalagi disiarkan langsung melalui media digital semakin menuntut penguasaan mendalam terhadap materi dan kedekatan psikologis dengan audiens, sebab tanpa dasar itu, retorika yang disampaikan rentan tergelincir pada kesalahan, baik secara makna maupun sebutan, yang berujung pada tertawaan.
Sayangnya, realitas di panggung politik saat ini menunjukkan beberapa calon pemimpin yang berbicara tanpa pemahaman yang matang atas substansi yang diangkat. Pada akhirnya mereka terjebak dalam narasi bombastis, seolah keberhasilan demokrasi cukup diraih dengan ledakan visi-misi yang nyaring, bukan dengan aksi yang substansial.
Ketika seorang pemimpin gagal menyampaikan gagasannya dengan jelas, sebenarnya publik mampu menilai bahwa calon pemimpin tersebut sebenarnya tidak siap, karena toh mereka tidak menguasai apa yang akan diperjuangkan. Kondisi ini membawa kita pada persoalan yang lebih mendalam: apakah retorika menjadi tujuan akhir, ataukah itu sekadar alat untuk mencapai pemahaman yang lebih tinggi?
Kematangan berpikir merupakan inti dari setiap ucapan pemimpin. Berpikir matang bukan sekadar kemampuan menyusun kalimat atau memilih diksi yang tepat, melainkan mencakup kesanggupan merangkum aspirasi publik dan mengelolanya menjadi visi yang bisa diterima semua kalangan.
Kematangan berpikir memberi kemampuan pada pemimpin untuk menyampaikan pesan yang tidak saja informatif, tetapi juga inspiratif, dengan tetap berpegang pada nilai-nilai kejujuran dan kebijaksanaan.
Berbicara di depan publik tanpa penguasaan materi, bisa diibaratkan seperti mendirikan bangunan tanpa fondasi. Sayangnya, beberapa calon pemimpin hanya mempersiapkan diri untuk tampil menarik di atas panggung, tanpa benar-benar memahami gagasan yang disampaikannya.
Mereka cenderung menyampaikan ide-ide besar yang terlihat heroik di permukaan, namun kosong di dalamnya. Ketika berbicara tanpa substansi, pidato yang seharusnya memberi pencerahan malah hanya jadi sekadar hiburan bagi rakyat.
Tulisan ini merupakan respon dari beredarnya video atas kegagalan beberapa calon wakil rakyat dalam berbicara di depan publik. Bagi sebagian rakyat, panggung politik memang layaknya tontonan yang menarik, suatu pertunjukan yang mengundang tawa meski nasib mereka dipertaruhkan. Ironi ini semakin mencolok ketika janji-janji yang disampaikan tidak dibarengi dengan aksi nyata.
Demokrasi sepantasnya menjadi jalan bagi masyarakat untuk memilih pemimpin yang benar-benar memahami tanggung jawabnya. Namun, kenyataan sering kali berbeda; demokrasi rentan disalahgunakan oleh mereka yang hanya ingin mencapai kekuasaan tanpa mengindahkan tanggung jawab.
Terpilih menjadi pemimpin adalah amanah yang menuntut tanggung jawab besar, karena kepemimpinan bukan sekadar menjadi suara yang lantang, tetapi hadir sebagai sosok yang mampu menjadi teladan dan pengayom bagi rakyat.
Dalam artikel ini, saya tidak menganggap bahwa berbicara tidak penting dalam kepemimpinan. Retorika yang baik mampu menggugah semangat dan keyakinan rakyat, tetapi retorika hanya efektif ketika selaras dengan tindakan nyata.
Visi dan misi yang disampaikan di atas panggung hanya akan bermakna jika diiringi dengan kebijakan yang benar-benar menyentuh kebutuhan masyarakat. Tanpa aksi nyata, retorika hanyalah janji kosong yang akan membuat rakyat semakin apatis terhadap proses politik.
Seorang pemimpin harus menyadari bahwa setiap keputusan dan tindakan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Amanah ini lebih dari sekadar tanggung jawab moral; ini adalah pengingat bahwa setiap kebijakan, ucapan, dan tindakan akan ditimbang pada akhirnya.
Kesadaran ini harus menjadi fondasi utama dalam kepemimpinan, sebab hal ini akan menjaga seorang pemimpin dari godaan untuk mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompok di atas kepentingan umum.
Penulis berharap masih ada nurani para calon pemimpin yang terketuk (mendapatkan hidayah), sehingga tidak pupus harapan kita, sosok yang nantinya benar-benar bertanggung jawab atas amanah yang diemban.
Terakhir, mari kita gunakan demokrasi yang telah memberikan ruang bagi rakyat untuk memilih pemimpin secara cerdas. Semoga panggung politik ke depan tidak hanya menjadi sekadar tontonan, tetapi menjadi ajang untuk menilai para pemimpin yang benar-benar membawa maslahat bagi rakyat sehingga mampu mewujudkan janji-janjinya.
***
*) Oleh : Zanuar Mubin, Dosen Ma'had Aly Al-Tarmasi Pacitan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Panggung Politik: Dibalik Nasib yang Dipertaruhkan
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |