TIMES PACITAN, PACITAN – Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Pacitan (BPBD Pacitan) mengingatkan masyarakat agar mewaspadai ancaman kekeringan selama musim kemarau 2025.
Peringatan ini khususnya ditujukan kepada petani serta warga yang tinggal di wilayah rawan krisis air bersih.
Berdasarkan prakiraan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), musim kemarau tahun ini diperkirakan berlangsung lebih singkat dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Di sebagian besar wilayah Jawa Timur, termasuk Pacitan, kemarau diprediksi dimulai pada Maret hingga April 2025, dengan puncaknya terjadi antara Juli hingga Agustus.
"Kalau pola iklimnya tetap seperti ini, akhir musim kemarau bisa terjadi sebelum akhir September," ujar Kepala Pelaksana BPBD Pacitan, Erwin Andriatmoko, Rabu (25/6/2025).
Kendati durasinya lebih pendek, Erwin menegaskan bahwa ancaman kekeringan tetap nyata. Terutama bagi sektor pertanian yang sangat bergantung pada curah hujan dan pasokan air tanah.
Prakiraan curah hujan selama musim kemarau 2025 bervariasi antara 100 mm hingga lebih dari 500 mm. Namun, tidak semua wilayah akan mengalami curah hujan yang cukup. Sebagian besar daerah masih berpotensi mengalami defisit air, terutama di wilayah selatan Pacitan yang tergolong rawan air bersih.
“Sebaran hujan mungkin tidak merata. Beberapa wilayah bisa mendapat curah hujan cukup, tapi daerah lain tetap kekurangan air,” tegasnya.
Pengaruh Global dan Potensi Kemarau Basah
Erwin menjelaskan bahwa dinamika cuaca global, seperti fenomena El Nino dan La Nina, turut memengaruhi panjang-pendeknya musim kemarau.
Saat ini, kondisi ENSO (El Nino–Southern Oscillation) berada dalam fase netral. Namun, ada kecenderungan munculnya La Nina lemah yang bisa menyebabkan hujan tetap turun meski memasuki musim kemarau.
“Saat ini ENSO dalam kondisi netral. Tapi ada kecenderungan La Nina lemah yang menyebabkan hujan masih bertahan di beberapa tempat,” ungkap Erwin.
Ia juga menyebut kemungkinan terjadinya kemarau basah, yakni fenomena ketika hujan masih turun walau sudah masuk periode kering. Namun, kondisi ini tetap perlu diwaspadai karena bisa menimbulkan anomali dalam pola tanam dan pengelolaan air.
BPBD Siapkan Mitigasi, Petani Diminta Cermat Tanam
Dalam menghadapi potensi kekeringan, BPBD Pacitan telah menyiapkan sejumlah langkah antisipatif. Mulai dari memperkuat sistem pemantauan cuaca, menyusun rencana mitigasi bencana, hingga berkoordinasi lintas sektor dengan instansi terkait.
“Langkah teknis seperti manajemen air, penghematan, serta pengelolaan lingkungan harus mulai diterapkan. Masyarakat bisa berperan aktif,” kata Erwin.
Khusus bagi para petani, ia mengimbau agar mereka tidak hanya mengandalkan Pranata Mangsa – sistem penanggalan tradisional pertanian Jawa – untuk menentukan jadwal tanam. Menurutnya, petani perlu memanfaatkan informasi ilmiah dari BMKG atau lembaga resmi lainnya.
“Kita sekarang harus mengandalkan data dan informasi ilmiah dari BMKG atau lembaga resmi,” ujarnya.
Peran Masyarakat: Hemat Air dan Jaga Lingkungan
Erwin menambahkan, kesiapsiagaan dan kemampuan beradaptasi menjadi kunci menghadapi perubahan iklim yang makin sulit diprediksi. Ia mendorong masyarakat untuk memulai dari hal-hal kecil seperti menghemat penggunaan air, menjaga vegetasi di sekitar rumah, hingga mengelola sampah dengan benar.
“Kita semua harus membangun kesadaran bersama menghadapi perubahan iklim yang kian tak menentu. Jangan menunggu bencana datang baru bergerak,” tandasnya.
Dengan prediksi cuaca yang terus berubah dan tantangan lingkungan yang makin kompleks, masyarakat Pacitan diharapkan lebih sigap dalam menghadapi musim kemarau tahun ini. Kesiapan sejak dini akan menjadi pembeda antara wilayah yang tangguh menghadapi kekeringan dan yang rentan terdampak. (*)
Pewarta | : Yusuf Arifai |
Editor | : Ronny Wicaksono |