TIMES PACITAN, PACITAN – SMPN 3 Tegalombo Pacitan menampilkan inovasi seni berbasis budaya lokal melalui pementasan Sanggar Tari Kridha Kaesthi. Dalam pementasan yang digelar di halaman sekolah, batik tulis Kunir Mas karya siswa tidak hanya digunakan sebagai kostum, tetapi juga diinterpretasikan ke dalam gerak tari.
Pertunjukan tersebut menyajikan koreografi yang terinspirasi dari tahapan membatik tradisional. Mulai dari proses menggambar pola hingga pelorodan, seluruh tahapan membatik diterjemahkan ke dalam gerak tari yang ditampilkan siswa.
Pelatih Sanggar Tari Kridha Kaesthi, Oktavia Kurniawati, SM, mengatakan ide tersebut muncul dari aktivitas membatik yang rutin dilakukan siswa dalam pembelajaran prakarya di sekolah.
Proses pembuatan batik tulis Kunir Mas oleh siswa kelas IXA SMPN 3 Tegalombo Pacitan. (FOTO: Jarsena Mulyani for TIMES Indonesia)
“Batik Kunir Mas dicanting oleh siswa sendiri. Proses itu kemudian kami jadikan inspirasi gerak tari. Di SMPN 3 Tegalombo sudah ada wadahnya, yakni Sanggar Tari Kridha Kaesthi,” kata Oktavia, Kamis (25/12/2025).
Sanggar Tari Kridha Kaesthi selama ini menjadi sarana pengembangan minat dan bakat seni siswa di Kecamatan Tegalombo. Dalam setiap pementasan, sanggar ini mengombinasikan pakem tari tradisional dengan unsur visual batik tulis sebagai identitas pertunjukan.
Batik Kunir Mas sendiri merupakan produk batik tulis yang dikembangkan SMPN 3 Tegalombo melalui pembelajaran prakarya. Batik ini dibuat langsung oleh siswa dengan pendampingan guru prakarya Prabowo, S.Pd.
Motif dan warnanya terinspirasi dari kekayaan alam Pacitan, dengan dominasi warna kuning keemasan menyerupai kunyit.
Kepala SMPN 3 Tegalombo, Bambang Nur Susanto, S.Pd, menjelaskan bahwa program batik tulis Kunir Mas merupakan bagian dari upaya sekolah mengembangkan potensi lokal sekaligus membentuk karakter siswa.
“Kami ingin siswa tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga memiliki rasa bangga terhadap budaya sendiri. Batik Kunir Mas adalah wujud nyata dari ketekunan dan kecintaan mereka terhadap warisan leluhur, selain itu potensi menari siswa dapat diwujudkan lewat gerakan atau proses membatik,” ujar Bambang.
Dalam pembelajaran, siswa dikenalkan pada seluruh tahapan membatik secara tradisional. Proses tersebut meliputi nyorek atau menggambar pola di atas kain, nglowong dengan mencanting malam, nyolet dan melet untuk pewarnaan detail, serta nglorot sebagai tahap akhir untuk menghilangkan lilin.
Seluruh rangkaian proses tersebut kemudian diadaptasi menjadi materi koreografi tari. Gerakan tangan, ritme, dan tempo tari disesuaikan dengan aktivitas membatik yang membutuhkan ketelitian dan kesabaran.
Menurut Prabowo, membatik bukan hanya soal keterampilan seni, tetapi juga sarana pendidikan karakter bagi siswa.
“Pak Prabowo bukan sekadar mengajar teknik mencanting, beliau sedang melatih kesabaran tingkat tinggi. Anak-anak sekarang terbiasa dengan hal instan, sementara batik mengajarkan proses,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa proses membatik memberi ruang refleksi bagi siswa dalam belajar menghargai usaha dan ketekunan.
“Seringkali saya berdiri di depan kelas, melihat mereka fokus menggoreskan lilin. Setiap tetesan malam adalah simbol kerja keras. Kami tidak hanya mencetak pembatik, tetapi membentuk karakter yang tahu bahwa hasil baik membutuhkan proses,” jelas Prabowo.
Selain berdampak pada penguatan karakter, program batik tulis Kunir Mas juga diarahkan untuk menumbuhkan jiwa kewirausahaan siswa. Produk batik hasil karya siswa mulai diperkenalkan sebagai produk unggulan Desa Tahunan Baru, Kecamatan Tegalombo.
Integrasi batik tulis dalam seni tari dinilai sebagai langkah strategis untuk mengenalkan warisan budaya kepada generasi muda. Bambang menyebut pendekatan ini efektif karena melibatkan siswa secara langsung dalam proses kreatif.
“Kami ingin siswa tidak hanya pandai menari, tetapi juga bangga mengenakan karya tangan sendiri. Batik Kunir Mas dan Sanggar Kridha Kaesthi saling melengkapi dalam upaya pelestarian budaya di sekolah,” kata Bambang.
Melalui kolaborasi antara pembelajaran prakarya dan seni tari, SMPN 3 Tegalombo menunjukkan bahwa sekolah di wilayah kecamatan mampu mengembangkan inovasi pendidikan berbasis budaya lokal. Program ini sekaligus memperkuat peran sekolah sebagai pusat pembentukan karakter dan pelestarian budaya di Kabupaten Pacitan. (*)
| Pewarta | : Yusuf Arifai |
| Editor | : Ronny Wicaksono |