TIMES PACITAN, PACITAN – Kendati memiliki potensi produksi beras, faktanya Kabupaten Pacitan belum mampu menembus pasar ekspor. Salah satu penyebab utamanya adalah kualitas beras lokal yang belum memenuhi standar ekspor internasional.
“Beras lokal Pacitan belum bisa ekspor. Kalau ekspor itu kelasnya harus premium, dan ada kriteria tersendiri,” ujar Plt Kabid Perdagangan Disdagnaker Pacitan, Wahyu Dwi Cahyono, Kamis (24/7/2025).
Cahyo menyebut, standar ekspor mensyaratkan kualitas tertentu. Misalnya, kadar air maksimal 14 persen, derajat sosoh 100 persen, butir patahan tidak lebih dari 15 persen, dan wajib lolos uji laboratorium serta SNI.
“Itu tergantung permintaan luar negeri. Mereka punya standar sendiri,” imbuhnya.
Sayangnya, fasilitas untuk pengujian kualitas beras belum tersedia di Pacitan. Petani harus ke luar daerah untuk menguji beras mereka, dan ini membutuhkan biaya dan waktu yang tidak sedikit.
“Di Pacitan belum ada lab beras. Kalau harus ke luar daerah, petani pasti pikir dua kali karena biaya dan repotnya,” terang Cahyo.
Kondisi ini membuat petani lebih memilih menjual gabah kering dibandingkan mengolah hingga menjadi beras. Selain lebih praktis, biaya produksinya juga lebih rendah.
Di sisi lain, ketersediaan beras di Pacitan justru belum mencukupi. Bahkan untuk kebutuhan konsumsi masyarakat saja masih bergantung pada pasokan beras dari luar daerah.
“Untuk konsumsi saja, kita masih andalkan kiriman dari luar,” ucapnya.
Dalam situasi seperti ini, lanjut Cahyo, intervensi harga dan pasokan sepenuhnya ada di tangan Bulog.
“Yang bisa intervensi ya Bulog,” tegasnya.
Potensi Besar Tapi Belum Maksimal
Sesuai Data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Timur, luas panen padi di Pacitan tahun 2024 hanya 649,14 hektare. Ini masih jauh dari total potensi sawah yang mencapai 12.782 hektare.
Namun, Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Pacitan memperkirakan produksi padi tahun ini bakal meningkat dengan luas panen yang bisa tembus 30.000 hektare.
“Melihat kondisi cuaca dan tren tanam, panen tahun ini kami prediksi meningkat,” ujar Sugeng beberapa waktu lalu.
Hingga awal April 2025, luas tanam padi di Pacitan sudah mencapai 3.316 hektare, dengan total panen yang sudah dan akan terjadi diperkirakan menyentuh 23.646 hektare.
Kecamatan Punung memiliki luas panen tertinggi dengan 4.884 hektare, disusul Tulakan dengan 1.477 hektare, dan Nawangan sebesar 713 hektare. Sementara Arjosari, Kebonagung, dan Pringkuku juga melampaui angka 900 hektare.
Namun jika melihat data dua tahun terakhir, terjadi penurunan produksi. Tahun 2022, Pacitan menghasilkan 163.733 ton padi dari 35.145 hektare tanam. Tapi di 2023 turun menjadi 158.373 ton dari luas tanam 31.303 hektare. Penyebabnya, musim tanam mundur akibat cuaca kering berkepanjangan.
Petani asal Desa Ploso, Kecamatan Punung, Kateni misalnya. Ia lebih memilih menjual gabah kering ke tengkulak usai panen.
"Kalau jual beras, di sini belum ada mesin penggilingan yang memadai, lagi pula biayanya pasti mahal, tidak balik modal," katanya secara terpisah.
Sebagai informasi, harga gabah kering di Pacitan pada tahun 2025 untuk tingkat petani khususnya Harga Pembelian Pemerintah (HPP), ditetapkan sebesar Rp6.500 per kilogram. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Beras Pacitan Dinilai Belum Layak Ekspor, Petani Pilih Jual Gabah
Pewarta | : Yusuf Arifai |
Editor | : Ronny Wicaksono |