TIMES PACITAN, PACITAN – Di balik lesunya tren batu akik secara nasional, budaya mengasah dan menjual batu permata lokal masih hidup di pelosok Pacitan. Di Desa Sukodono, Kecamatan Donorojo, Kabupaten Pacitan, batu akik tidak hanya dipandang sebagai barang dagangan, tapi juga warisan budaya yang dijaga turun-temurun.
Murniyati (54), salah satu pedagang akik di Pasar Tangkluk (sebutan warga untuk Pasar Desa Sukodono), menjadi potret bagaimana tradisi lokal tetap dipelihara meski nilai ekonominya tak seberapa.
"Setiap Kliwon. Kalau Pahing saya ke Pasar Punung. Harga akik sekarang seperti hanya dikasihkan saja," tutur Murniyati kepada TIMES Indonesia, Sabtu (3/5/2025).
Ia menjajakan batu akik jenis Kalsedon, batu lokal khas Donorojo yang dikenal karena warnanya yang unik dan serat halusnya.
Harganya kini hanya berkisar antara Rp10 ribu hingga Rp25 ribu per biji. Namun bagi Murniyati, menjual akik bukan semata soal untung.
"Setiap Kliwon tidak tentu laris. Tapi tetap laku. Sekali buka mulai pukul 05.00 sampai 09.00 WIB," ujarnya.
Batu-batu itu bukan hasil kulakan. Semua diolah sendiri oleh suaminya, dengan peralatan tradisional yang mereka miliki sejak tahun 2008. Proses mengasah akik ini pun menjadi bagian tak terpisahkan dari tradisi keluarga mereka.
"Bikin sendiri. Suami saya yang bikin," imbuhnya.
Budaya mengolah batu akik sempat kembali hidup saat masa booming sekitar tahun 2014-2015.
Kala itu, hampir setiap rumah di Donorojo memiliki alat pengasah dan menjajakan hasilnya ke berbagai kota.
Kini, geliat itu meredup. Namun, pesanan khusus kadang masih datang, seperti dari Yogyakarta yang pernah meminta 50 kodi batu gesper, satu kodi seharga Rp80 ribu.
Tak hanya berjualan di pasar, Murniyati juga menjajakan dagangannya saat momen wisata di Pantai Pancer Door,
Sementara itu, Suprapto (58), penggemar batu akik asal Hadiluwih, Kecamatan Ngadirojo, masih kerap berburu jenis tertentu sebagai bentuk kecintaan terhadap kekayaan lokal.
"Kebetulan hari ini jalan-jalan, pas lewat langsung mampir. Ternyata harganya sangat murah. Rp120 ribu dapat lima akik. Kalau dulu saat booming, segitu tidak dapat apa-apa," ucapnya.
Menurut Suprapto, batu akik Donorojo memiliki karakteristik unik yang tak bisa dijumpai di tempat lain. Serat halus, warna alami, serta kisah di balik pengolahannya menjadikan akik ini lebih dari sekadar benda mati, ia adalah bagian dari narasi budaya masyarakat setempat.
Bagi warga Donorojo, batu akik adalah simbol ketekunan, ketelatenan, dan warisan keterampilan tangan. Generasi tua mewariskan keahlian ini kepada anak-anaknya, meski sebagian kini telah beralih profesi.
Budaya lokal seperti ini sejatinya memiliki potensi besar jika didukung promosi dan pelestarian secara menyeluruh. Tak hanya untuk tujuan ekonomi, tetapi juga sebagai upaya menjaga identitas dan kekayaan tradisi daerah.
Ketika tren datang dan pergi, batu akik Donorojo tetap menjadi saksi bisu keteguhan masyarakat dalam menjaga warisan budaya lokal Pacitan yang mungkin terlupakan. (*)
Pewarta | : Yusuf Arifai |
Editor | : Imadudin Muhammad |