TIMES PACITAN, PACITAN – Filsuf Muslim Dr Fahruddin Faiz mengingatkan pentingnya memperkuat nalar bayani di tengah derasnya arus informasi yang serba kabur di era post-truth. Pesan itu ia sampaikan saat menjadi dosen tamu di Ma'had Aly Al-Tarmasi Pacitan, secara daring, Senin (17/11/2025).
Di hadapan para mahasantri dan peserta webinar, Dr Faiz menegaskan bahwa nalar bayani yang bertumpu pada nash, bahasa, dan turats harus menjadi fondasi berpikir di tengah kecenderungan masyarakat lebih mengutamakan emosi ketimbang fakta.
“Era post-truth bukan berarti kebenaran itu hilang. Tapi kebenaran tidak lagi menjadi faktor utama dalam membentuk opini publik,” ujar pria yang juga dosen Filsafat UIN Sunan Kalijaga itu.
Menurutnya, banyak orang kini menilai benar-salah berdasarkan perasaan, ketertarikan pribadi, atau kepentingan kelompok. Fenomena ini diperparah oleh algoritma media sosial yang mengurung pengguna dalam “filter bubble”. Akibatnya, informasi yang muncul hanyalah yang menguatkan prasangka masing-masing. “Harusnya teknologi membuat kita makin terhubung, tapi yang terjadi justru fragmentasi,” katanya.
Dr Faiz memaparkan sejumlah ciri era post-truth: emosi mengalahkan data, konten viral lebih dipercaya ketimbang hasil verifikasi, hilangnya kepercayaan terhadap institusi pengetahuan, hingga maraknya produksi informasi palsu secara sistematis. “Banyak yang tidak tahu, tapi juga tidak sadar kalau tidak tahu. Ini yang bikin runyam,” tegasnya.
Ia juga merinci dampaknya, seperti menguatnya peran pembentuk opini yang memainkan emosi publik, erosi etika dan rasionalitas, polarisasi politik dan agama, hingga kecenderungan masyarakat lebih percaya ustaz viral daripada ulama ahli.
Dalam situasi ini, kata Dr Faiz, nalar bayani menghadapi tantangan berat. Otoritas teks dan ulama dianggap tak relevan, narasi agama terpotong-potong di media sosial, citra visual lebih dominan daripada makna, dan tafsir agama makin terfragmentasi.
Untuk itu, ia menawarkan sejumlah adaptasi, antara lain integrasi nalar bayani dengan burhani dan irfani, kehadiran bayani yang lebih aktif di ruang digital, serta penguatan etika verifikasi berbasis prinsip tabayyun. Ia juga memperkenalkan metode hermeneutika digital bayani, analisis komputasional untuk menelaah teks, hingga pendekatan naratif dan kurasi otoritas agar masyarakat mampu membedakan keilmuan yang sahih dari popularitas semu.
Sementara itu, Mudir Ma’had Aly Al-Tarmasi Pacitan, KH Luqman Al Hakim Harits Dimyathi, menilai pesan Dr Faiz relevan dengan tantangan para mahasantri hari ini. Menurutnya, teknologi memang tak bisa dihindari, tetapi perlu disikapi dengan kedewasaan. “Medsos itu luar biasa. Walaupun isinya berulang, dampaknya nyata. Ini gambaran al-dunya mata’ul ghurur,” ujarnya.
KH Luqman mengingatkan bahwa kemudahan akses terhadap turats seharusnya menjadi peluang besar bagi mahasantri untuk berkembang. “Kalau kalian memanfaatkan teknologi dengan benar, kalian bisa menjadi mualif dan mushannif. Semua rujukan ilmiah tersedia, tidak ada yang tertinggal,” katanya.
Ia menegaskan bahwa semangat membaca dan konsistensi adalah kunci. “Nalar bayani, kalau dijalani dengan benar, justru akan menjadi solusi,” tutupnya. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Jadi Dosen Tamu di Ma'had Aly Al-Tarmasi Pacitan, Dr Fahruddin Faiz Ajak Perkuat Nalar Bayani
| Pewarta | : Yusuf Arifai |
| Editor | : Deasy Mayasari |