https://pacitan.times.co.id/
Berita

Mengenal Lebih Dekat Tumirah, Penjaga Wasiat Shalawat Khataman Nabi di Pacitan

Senin, 17 Februari 2025 - 18:19
Mengenal Lebih Dekat Tumirah, Penjaga Wasiat Shalawat Khataman Nabi di Pacitan Merasakan Shalawat Khataman Nabi di Pacitan langsung dari sang penerusnya. (Foto: Magang STKIP PGRI for TIMES Indonesia)

TIMES PACITAN, PACITAN – Ada yang tetap bertahan, meskipun zaman terus melaju tanpa peduli. Ada yang masih menggenggam erat, walau dunia seakan menyuruhnya melepas. Salah satunya Tumirah, seorang perempuan 70 tahun dari Dusun Dawung Kulon, Desa Candi, Kecamatan Pringkuku, Kabupaten Pacitan, penjaga terakhir Shalawat Khataman Nabi.

“Buyut saya adalah seorang pesholawat Khataman Nabi Jawa tradisional. Beliau berpesan, sholawat ini harus tetap hidup, tidak boleh mati,” katanya, saat ditemui, Senin (17/2/2025). 

Dan Tumirah berpegang pada pesan itu. Ia tak rela shalawat yang sudah berusia ratusan tahun itu lenyap begitu saja. 

Bagi Tumirah, ini bukan sekadar nyanyian religius, bukan pula sekadar ritual. Ini adalah bagian dari dirinya, dari napas, dari iman, dari warisan yang tak boleh hilang.

Di langgar kecil desanya, Tumirah dan beberapa saudaranya masih melantunkan shalawat dengan alat-alat musik buatan tangan buyutnya. Ada gong, kenong, tipung, terbang, dan gendang—semuanya berbahan kulit sapi asli.

“Dulu buyut saya yang membuat alat-alat ini dengan tangannya sendiri. Saya hanya menjaga apa yang sudah beliau mulai,” katanya, sembari mengelus salah satu gendang yang usianya mungkin lebih tua dari sebagian rumah di desanya.

Tapi zaman tak hanya membuat alat-alat itu tua dan rapuh. Ia juga membuat minat orang-orang semakin menipis.

“Anak-anak muda sekarang kurang tertarik, mereka lebih suka budaya modern,” ucap Tumirah. 

Ia sudah berkali-kali mengajak pemuda desa untuk ikut serta. Hasilnya? Ada yang datang, tapi hanya sebentar. Ada yang mendengar, tapi tak benar-benar peduli. Tumirah menggeleng pelan.

“Saya sudah sering bilang, kalau kita tidak menjaga budaya kita sendiri, siapa lagi?”

Suatu pertanyaan yang tak perlu jawaban. Atau mungkin, tak ada yang mau menjawab.

Shalawat Jawa ini biasanya berkumandang di malam-malam khusus. Malam Suro, malam Rajab, malam Tahun Baru Hijriyah. Lagu-lagu yang dinyanyikan pun bukan sekadar lagu, melainkan ingatan yang terus diputar ulang, seperti Pepeling, Tombo Ati, dan tentu saja Khataman Nabi.

Di bawah lampu minyak yang redup, di antara gema doa yang syahdu, Tumirah merasa buyutnya masih ada di sana.

“Ketika kami bersholawat di malam-malam khusus itu, rasanya seperti kembali ke masa lalu, ketika buyut saya masih hidup,” tuturnya. 

Namun, Tumirah sadar ia tak bisa melawan waktu. Alat musik yang dibuat buyutnya satu per satu mulai rusak. Dan tak ada satu pun orang yang bisa, atau mau, membuatnya kembali.

“Kalau alat ini rusak semua dan tidak ada yang tahu cara membuatnya, bagaimana kami bisa melanjutkan shalawatan?” tanyanya. 

Tapi Tumirah tak akan berhenti. Selama tangannya masih bisa menabuh, selama suaranya masih bisa melantunkan sholawat, ia akan tetap setia pada wasiat buyutnya.

“Selama saya masih bisa, saya akan terus menjalankan sholawat ini. Wasiat harus ditepati," tegasnya. 

Ia pun sebenarnya tak menuntut banyak. Cukup satu orang. Satu orang saja yang bersedia meneruskan.

“Saya tidak butuh banyak orang, satu saja yang mau meneruskan sudah cukup bagi saya,” tegasnya lagi. 

Sederhana. Tapi justru itulah masalahnya. Sebab, di Pacitan ini siapa yang masih mau meneruskan Shalawat Khataman Nabi? (*)

Pewarta: Dewi Sulistiana, Mahasiswa Magang Non Kependidikan STKIP PGRI Pacitan) 

Pewarta : Yusuf Arifai
Editor : Deasy Mayasari
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Pacitan just now

Welcome to TIMES Pacitan

TIMES Pacitan is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.