TIMES PACITAN, PACITAN – Sampah jadi berkah, cara SMPN 2 Kebonagung Pacitan menjaga predikat Adiwiyata Mandiri. Sejak meraih status Adiwiyata Mandiri pada 2019, sekolah ini tidak berhenti pada seremoni. Pengelolaan limbah dijalankan sebagai kebiasaan harian, bukan sekadar program musiman.
Di lingkungan sekolah, sampah dipilah sejak awal. Daun gugur dan sisa kantin diolah menjadi kompos, lalu dimanfaatkan kembali untuk menyuburkan tanaman sekolah. Siklus sederhana ini membuat halaman tetap hijau sekaligus mengajarkan siswa bahwa sampah organik punya nilai guna jika dikelola dengan benar.
Sampah anorganik juga tak luput dari perhatian. Bungkus plastik bekas kemasan minuman yang biasanya berakhir di tempat pembuangan akhir, di tangan siswa SMPN 2 Kebonagung justru berubah menjadi tas dan taplak meja.
Siswa SMPN 2 Kebonagung Pacitan mengolah pupuk kompos dan memilah sampah. (FOTO: Enjang Fitrianingrum for TIMES Indonesia)
Proses ini dibimbing oleh Indrawati dan Achmad Ichroni. Keduanya menanamkan pemahaman bahwa kreativitas dan ketekunan bisa mengubah barang tak bernilai menjadi produk fungsional.
“Kami ingin anak-anak paham, yang diolah bukan hanya sampahnya, tapi juga kepedulian dan karakter mereka,” ujar tim pembina.
Salah satu siswa kelas IX, Fadya Indy Khairani, mengaku awalnya tak pernah terpikir bahwa plastik bekas bisa dimanfaatkan. “Setelah dirangkai jadi tas, saya baru sadar kalau sampah itu bisa cantik kalau diolah dengan sabar,” katanya.
Program ini berjalan konsisten berkat dukungan Kepala SMPN 2 Kebonagung, Ibnu Hajar Kuncoro. Menurutnya, menjaga predikat Adiwiyata Mandiri bukan kerja singkat.
“Ini proses panjang. Kami ingin anak-anak punya pola pikir bahwa sampah adalah sumber daya, bukan masalah,” ungkap pihak sekolah.
Kegiatan pengolahan sampah terakhir dilakukan pada 10 Desember 2025. Aktivitas tersebut menjadi penegas bahwa komitmen lingkungan sekolah ini terus berjalan, meski tahun berganti.
Regenerasi menjadi kunci keberlanjutan. Setiap siswa baru diperkenalkan sejak awal dengan budaya Adiwiyata, sementara siswa lama berperan menjaga tradisi agar tetap hidup.
SMPN 2 Kebonagung Pacitan membuktikan bahwa sekolah bukan hanya tempat belajar di kelas, tetapi juga ruang praktik membangun kepedulian lingkungan—nyata, sederhana, dan berkelanjutan. (*)
| Pewarta | : Yusuf Arifai |
| Editor | : Faizal R Arief |