TIMES PACITAN, KEDIRI – Ada sejarah panjang menuju satu abad Al-Falah Ploso Kediri yang dapat kita telusuri sejak berdiri pada tahun 1925 oleh KH. Ahmad Djazuli Utsman, atau juga dikenal sebagai Mas’ud nama kecilnya, pondok pesantren ini telah melahirkan banyak ulama dan tokoh masyarakat.
Mas’ud, nama kecil KH. Ahmad Djazuli Utsman, lahir pada 16 Mei 1900. Ia dikenal sebagai pribadi sederhana yang mengutamakan ilmu pengetahuan.
Pendidikan formalnya dimulai dari Sekolah Rakyat (SR), dilanjutkan ke MULO, HIS, hingga perguruan tinggi STOVIA (kini Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia).
Namun, perjalanan akademik Mas’ud berubah setelah ia diminta pulang oleh KH. Ma'ruf dari Kedunglo. Ia pun memutuskan untuk mendalami ilmu agama di berbagai pesantren di Kediri, termasuk pesantren Mojosari, tempat ia mendapatkan julukan "Blawong," sebuah simbol kehormatan yang diberikan oleh KH. Zainuddin, sangat pengasuh pesantren kala itu.
Pada tahun 1925, KH. Ahmad Djazuli Utsman mendirikan Pondok Pesantren Al-Falah. Dengan modal semangat dan keikhlasan, ia membangun lembaga ini sebagai pusat pendidikan agama yang fokus pada pengajaran kitab-kitab salaf.
Dalam waktu singkat, pesantren ini berkembang pesat, meski dihadapkan dengan berbagai tantangan, termasuk isu sosial dan tekanan eksternal.
Di bawah kepemimpinannya, Al-Falah menjadi tempat belajar bagi para santri dari seluruh pelosok negeri. Tidak hanya ilmu agama, nilai-nilai moral dan etika turut diajarkan untuk membentuk karakter para santri.
KH. Ahmad Djazuli dikenal dengan metode pengajaran yang disiplin namun penuh kasih sayang. Ia mendidik tidak hanya santri, tetapi juga keluarganya dengan keteguhan. Dari 11 anaknya, beberapa di antaranya turut melanjutkan perjuangan dalam pendidikan agama.
Pada era 1930-an, jumlah santri di Al-Falah mencapai lebih dari 100 orang. Untuk memenuhi kebutuhan mereka, KH. Ahmad Djazuli membangun kompleks baru dan melibatkan masyarakat setempat dalam pengembangan pesantren.
Pun, Pesantren Al-Falah tidak terlepas dari berbagai ujian. Pada masa penjajahan Belanda dan agresi militer, santri-santrinya turut berjuang mempertahankan kemerdekaan.
Bahkan setelah Indonesia merdeka, ancaman dari PKI menjadi cobaan berat bagi keberlangsungan pesantren.
Namun, dengan kegigihan KH. Ahmad Djazuli Utsman dan keluarga, pesantren ini mampu bertahan dan berkembang. “Kami selalu yakin, dengan doa dan usaha, Allah akan memberikan jalan keluar dari segala masalah,” ujarnya dalam sebuah kesempatan.
Al-Falah Kini
Kini, di bawah kepemimpinan KH. Nurul Huda Jazuli, Al-Falah Ploso menjadi salah satu pesantren terbesar di Indonesia. Program-program seperti Madrasah Diniah dan Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiah terus meningkatkan kualitas pendidikan santri.
Pesantren ini tidak hanya menjadi pusat pengajaran kitab salaf, tetapi juga melahirkan tokoh-tokoh masyarakat yang berkontribusi besar terhadap bangsa dan agama.
Pondok Pesantren Al-Falah Ploso menjadi bukti nyata bagaimana keikhlasan dan perjuangan seorang ulama dapat menciptakan perubahan besar.
Melalui semangat pendidikan, satu abad Al-Falah Ploso Kediri akan terus menjadi benteng moral dan spiritual bagi generasi mendatang. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Sejarah Panjang Menuju Satu Abad Al-Falah Ploso Kediri
Pewarta | : Yusuf Arifai |
Editor | : Deasy Mayasari |