TIMES PACITAN, PACITAN – Bagi STKIP PGRI Pacitan, Hari Santri Nasional (HSN) bukan sekadar seremoni tahunan. Momentum ini menjadi ruang refleksi tentang bagaimana nilai-nilai pesantren bisa menjadi ruh pendidikan tinggi, membentuk karakter mahasiswa yang berilmu, berakhlak, dan berdaya saing global.
Ketua STKIP PGRI Pacitan, Bakti Sutopo, menegaskan bahwa Hari Santri memiliki makna yang dalam, terutama bagi perguruan tinggi yang menempatkan moralitas dan spiritualitas sebagai pondasi utama pendidikan.
Makna Hari Santri bagi dunia pendidikan tinggi, khususnya STKIP PGRI Pacitan, sangat penting karena mengutamakan nilai historis, kultural, dan filosofis. HSN bukan hanya sekadar seremonial, apalagi terbatas pada penampilan, melainkan harus memperkokoh jati diri STKIP PGRI Pacitan sebagai lembaga pendidikan tinggi,” ujar Bakti Sutopo, Rabu (22/10/2025).
Menurut Bakti, semangat Hari Santri mengandung nilai historis yang lahir dari Resolusi Jihad 22 Oktober 1945. Semangat itu harus dihidupkan dalam setiap aspek pendidikan agar mahasiswa tumbuh menjadi insan yang nasionalis sekaligus religius.
“STKIP PGRI Pacitan bisa mengambil makna HSN sebagai penguatan ilmu dan iman, pengabdian yang tulus ke masyarakat, menumbuhkan nilai toleransi, hormat-menghormati, dan beradab. Ini sekaligus penanaman nilai nasionalisme,” imbuhnya.
Integrasi Nilai Santri dalam Kurikulum
STKIP PGRI Pacitan telah lama mengintegrasikan nilai-nilai santri ke dalam kurikulum dan pembelajaran. Setiap mata kuliah tidak hanya berorientasi pada penguasaan ilmu, tetapi juga menanamkan dimensi moral, etika, dan spiritual.
“Khusus dalam mata kuliah pendidikan, kami tekankan agar mahasiswa meneguhkan kejujuran, tanggung jawab, dan pengabdian,” jelas Bakti.
Proses perkuliahan juga dirancang untuk mempraktikkan nilai-nilai inti pesantren. Dosen tidak sekadar mengajar teori, tetapi menanamkan tiga pilar utama: keikhlasan, kesederhanaan, dan kedisiplinan.
“Kami pandang hal itu sebagai inti agar STKIP PGRI mampu menanamkan semangat santri dalam diri mahasiswanya,” ujarnya menambahkan.
Kampus yang Berjiwa Santri
STKIP PGRI Pacitan berkomitmen menjadi kampus yang tidak hanya unggul dalam akademik, tetapi juga dalam pembentukan karakter. Semangat santri dijadikan nafas Pendidikan di semua lini meliputi pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat.
“STKIP PGRI Pacitan selalu berkomitmen membangun SDM yang berilmu, berakhlak, dan berdaya saing global. Baik dalam penelitian, pengajaran, maupun abdi masyarakat, kami memberi kemerdekaan bagi semua sivitas agar tumbuh nalar kritis, rasa tanggung jawab, dan bermoral luhur,” tutur Bakti.
Dalam praktiknya, dosen dan mahasiswa diarahkan agar kegiatan penelitian dan pengabdian tidak berhenti pada laporan ilmiah semata. Keduanya diarahkan untuk menjaga peradaban, memberi manfaat nyata bagi masyarakat, dan melahirkan inovasi yang berakar pada nilai-nilai santri.
Tantangan Globalisasi dan Krisis Keteladanan
Namun, mempertahankan ruh santri di tengah arus modernisasi tidak mudah. Bakti mengakui, tantangan terbesar justru datang dari derasnya pengaruh ideologi luar yang dibalut teknologi dan gaya hidup modern.
“Menjaga ruh santri di STKIP PGRI Pacitan bukan hal mudah. Tantangannya adalah semakin menguatnya ideologi luar yang dibalut oleh teknologi dan modernisasi. Kita saksikan pergeseran gaya hidup, lemahnya ketulusan dan kejujuran, serta krisis keteladanan moral dalam konteks global,” katanya.
Fenomena tersebut, menurutnya, dapat menggerus nilai-nilai spiritualitas dan moralitas yang selama ini menjadi fondasi pesantren. Oleh karena itu, STKIP PGRI Pacitan terus berupaya menghadirkan keseimbangan antara profesionalitas dan spiritualitas dalam pendidikan.
“Semua hal ini menjadi tantangan kekinian untuk mempertahankan nilai santri seperti keikhlasan, ketawadukan, kedisiplinan, dan kepemimpinan,” ujar Bakti.
Nilai Lokal yang Relevan Sepanjang Zaman
Bakti menilai pola pendidikan pesantren merupakan warisan asli bangsa Indonesia yang tidak boleh ditinggalkan. Modernisasi, katanya, tidak boleh menghapus nilai luhur yang sudah mendarah daging dalam sistem pendidikan tradisional pesantren.
“Kami paham, pola pesantren adalah pola pendidikan orisinal milik Indonesia. Jadi eman-eman kalau terlalu dipaksa menjadi modern, karena nilai-nilainya akan bias dan kabur. Nilai-nilai baik seperti tradisi ngaji, tirakat, dan khidmat tidak boleh bergeser dari pesantren,” tegasnya.
Bakti meyakini, nilai-nilai tersebut justru menjadi modal budaya yang mampu menguatkan karakter mahasiswa. Di tengah derasnya arus digitalisasi, karakter santri menjadi penyeimbang agar generasi muda tidak kehilangan akar moral dan spiritual.
Kolaborasi Kampus dan Pesantren
Sebagai lembaga pendidikan tinggi, STKIP PGRI Pacitan menempatkan diri bukan hanya sebagai penyelenggara pendidikan, tetapi juga penjaga nilai. Kampus ini berupaya memahami akar moral masa lalu dengan orientasi masa depan.
“Sebagai lembaga pendidikan, tentu kami berperan memahami ke akar moral masa lalu dengan orientasi masa depan. Untuk itu STKIP PGRI Pacitan mengajak nilai santri untuk mahasiswa, mengintegrasikan karakter santri ke dalam inovasi kurikulum bersanding kekinian, dan menguatkan karakter akademis yang beradab,” jelas Bakti.
Kolaborasi dengan pesantren pun terus dilakukan agar semangat santri tetap hidup di lingkungan kampus. Sinergi ini diharapkan melahirkan lulusan yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara spiritual dan moral. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Nilai Pesantren Jadi Nafas Pendidikan di STKIP PGRI Pacitan
Pewarta | : Yusuf Arifai |
Editor | : Deasy Mayasari |