TIMES PACITAN, PACITAN – Siapa yang pernah membayangkan bahwa menjaga suara rakyat adalah pekerjaan yang penuh peluh dan tangis, bahkan di balik dinding-dinding sunyi kantor pengawas? Bawaslu Kabupaten Pacitan, dengan tekad setinggi Gunung Limo, menerbitkan buku Lika Liku Laku Kita: Catatan Kisah Para Pengawal Demokrasi Pemilu 2024 Kabupaten Pacitan.
Buku ini bukan sekadar bacaan—ia adalah nyawa perjuangan yang dituangkan ke dalam lembaran kertas.
“SDM unggul adalah fondasi utama demokrasi yang sehat,” ujar editor buku, Yusuf Arifai, Kamis (26/12/2024).
Pernyataan ini mengalir seperti air bening di musim kemarau, lalu memberikan penegasan tentang peran vital manusia-manusia yang berdiri di garda depan pengawasan pemilu.
Lihatlah, para pengawas ad hoc itu. Mereka bukan hanya pelaksana teknis. Mereka adalah pengawal demokrasi, pencatat sejarah, penjaga martabat suara rakyat.
Sayangnya, sering kali mereka hanya menjadi bayang-bayang di sudut panggung besar pesta demokrasi.
Di lain sisi, Koordinator Divisi SDMO dan Diklat Bawaslu Pacitan, Nurul Fata Khoiruriza, menyebut buku ini sebagai penghormatan kepada para pengawas ad hoc.
“Perjuangan mereka harus tercatat, tidak hanya di kepala, tetapi juga di kertas yang kelak akan menjadi saksi sejarah,” ungkapnya.
Buku ini menyajikan berbagai aspek pengawasan pemilu, dari tantangan di lapangan hingga implementasi teknologi.
Tapi, yang paling menarik adalah cerita-cerita kecil nan getir: bagaimana mereka berhadapan dengan waktu yang mepet, data yang harus akurat, dan harapan masyarakat yang begitu tinggi.
Bayangkan seorang pengawas pemilu, di tengah malam yang dingin, masih memeriksa laporan TPS.
Sementara itu, di meja redaksi Bawaslu, tumpukan data harus diramu menjadi dokumen yang bernyawa. Proses penyusunan buku ini pun tak kalah dramatik.
“Rasanya seperti dikejar peluru yang lepas dari senapan,” kata Nurul, mengenang waktu pengumpulan data yang begitu menekan.
Namun, bukankah demokrasi memang begitu? Setiap langkah penuh rintangan, setiap detik adalah perjuangan.
Buku ini tidak hanya bicara tentang teknis. Ia menghadirkan cerita hidup para pengawas pemilu. Dengan gaya penyajian yang santai tapi mengalir, pembaca diajak menyelami realitas yang sering luput dari sorotan kamera media.
Fata berharap buku ini menjadi inspirasi. Tidak hanya bagi masyarakat, tetapi juga bagi lembaga lain.
“Kolaborasi adalah kunci. Dengan bekerja bersama, kita bisa menciptakan sistem demokrasi yang lebih baik,” tegasnya.
Buku Lika Liku Laku Kita bukan sekadar dokumentasi. Ia adalah upaya menyuarakan mereka yang diam, mengangkat cerita yang terlupakan, dan memberi makna pada perjalanan demokrasi.
Di masa depan, siapa tahu? Mungkin buku ini akan menjadi pelajaran penting bagi generasi muda, atau bahkan menjadi pengingat bahwa demokrasi yang kita nikmati hari ini dibangun di atas peluh dan air mata para pengawas yang sering tak terlihat.
Seperti yang ditulis Nurul Fata di halaman pengantar buku Lika Liku Laku Kita, "Perjuangan pengawas adalah tinta hitam di atas kertas suci. Ia layak dikenang, layak dihormati." (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Dari Balik Kotak Suara Ada Kisah Penjaga Demokrasi di Pacitan yang Nyaris Tak Tercatat
Pewarta | : Yusuf Arifai |
Editor | : Deasy Mayasari |