https://pacitan.times.co.id/
Opini

Demokrasi yang Teramputasi

Rabu, 30 Juli 2025 - 17:12
Demokrasi yang Teramputasi Eko Sujarwo, Pemerhati Kebijakan Publik Pacitan.

TIMES PACITAN, PACITAN – Ada ironi yang tak terlihat, tersembunyi di balik hiruk-pikuk pesta demokrasi tingkat lokal seperti pemilihan kepala dusun. Proses yang sepintas tampak demokratis, bahkan melibatkan musyawarah warga, negosiasi politik, hingga tarik-menarik antar elite lokal, ternyata menyimpan persoalan mendasar. 

Setelah seorang kepala dusun terpilih, ia justru masuk ke dalam sistem pemerintahan yang ambigu dan minim batasan.

Seorang kepala dusun bisa menjabat puluhan tahun, seakan menjadi penguasa kecil yang tak tergantikan. Di tengah dunia yang bergerak cepat, teknologi yang terus berkembang, seorang pemimpin dituntut untuk selalu memperbarui pengetahuannya agar bisa mengikuti arus perubahan. 

Tanpa batasan masa jabatan, akuntabilitas seorang kepala dusun sulit terukur. Tidak ada mekanisme evaluasi yang jelas dari warga untuk menilai apakah sang pemimpin masih relevan dengan kebutuhan zaman atau tidak. Akibatnya, jabatan bisa menjadi menara gading yang terlepas dari realitas warga.

Pemilihan yang awalnya dianggap sebagai perwujudan partisipasi rakyat lambat laun berubah menjadi formalitas belaka. Masyarakat hanya dilibatkan saat memilih, tetapi tidak memiliki kuasa untuk mengawasi apalagi mengganti pemimpin yang tak mampu mewakili aspirasi mereka. 

Inilah bentuk demokrasi yang teramputasi masih ada bentuknya, tetapi kehilangan substansi. Demokrasi tanpa ruang kontrol warga adalah panggung kosong yang hanya menyisakan seremoni.

Ketika seseorang memegang jabatan terlalu lama tanpa tantangan dan pergantian, yang muncul bukan hanya kejenuhan, tetapi juga peluang suburnya korupsi, nepotisme, dan gaya kepemimpinan otoriter. Bahkan, tak jarang muncul fenomena "malesisasi", ketika pemimpin mulai kehilangan semangat untuk melayani. 

Padahal, dusun membutuhkan pemimpin yang adaptif, mampu membaca perubahan, dan membuka ruang partisipasi seluas-luasnya. Tanpa aturan soal masa jabatan, gaya kepemimpinan bisa berubah menjadi feodalisme modern yang jauh dari semangat demokrasi.

Kritik tanpa solusi tak ubahnya pepesan kosong. Maka, perlu tawaran konkret untuk memperbaiki kualitas demokrasi di tingkat akar rumput:

Pertama, periode masa jabatan yang jelas. Pemerintah daerah harus berani menetapkan batas masa jabatan kepala dusun, misalnya 5 hingga 6 tahun. 

Jabatan ini bisa diperpanjang maksimal satu periode berikutnya, dan itu pun harus melalui evaluasi ketat yang melibatkan masyarakat sebagai bagian dari proses penilaian.

Kedua, mekanisme recall rarga. Harus ada standar kinerja kepala dusun yang terbuka dan dapat diakses publik. Jika seorang kepala dusun terbukti tidak menjalankan tugasnya dengan baik. 

Warga harus memiliki hak untuk menggantinya sebelum masa jabatan berakhir. Mekanisme recall seperti ini penting agar warga merasa memiliki dan bisa mengawasi pemimpinnya secara langsung.

Kedua, musyawarah yang substansial, bukan seremonial. Musyawarah dusun tak boleh sekadar ritual tahunan yang penuh basa-basi. Ia harus menjadi ruang kontrol dan diskusi terbuka untuk mengevaluasi program dan kebijakan dusun. 

Jika kepala dusun adalah perangkat desa, maka proses rekrutmennya pun harus melalui tes perangkat yang terbuka dan akuntabel, dengan pencalonan yang didasarkan pada rekomendasi BPD, ketua RT, dan RW.

Keempat, perkuat fungsi dan peran BPD sebagai DPR Desa. Sudah saatnya mengembalikan peran BPD sebagai badan legislatif di tingkat desa. BPD harus diberdayakan untuk menjalankan fungsi pengawasan dan legislasi lokal. 

Dengan demikian, kebijakan desa dapat dilahirkan melalui proses demokrasi partisipatif yang sehat, bukan hanya keputusan satu arah dari elite lokal.

Demokrasi bukan sekadar soal memilih. Ia adalah soal menjaga agar pemimpin tidak berubah menjadi tuan atas rakyatnya. Demokrasi yang sehat harus punya mekanisme koreksi, pengawasan, dan regenerasi. 

Tanpa periodisasi, semangat kompetisi sehat akan hilang. Padahal, dalam setiap wilayah terdapat sumber daya manusia yang potensial, yang seharusnya mendapat kesempatan yang sama untuk memimpin dan melayani.

Kini saatnya membenahi demokrasi dari bawah dari dusun-dusun yang menjadi fondasi negara ini. Sebelum roh demokrasi benar-benar tercerabut dari makna sejatinya dan hanya tersisa selebrasi semu tanpa jiwa.(*) 

***

*) Oleh : Eko Sujarwo, Pemerhati Kebijakan Publik Pacitan.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Pacitan just now

Welcome to TIMES Pacitan

TIMES Pacitan is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.